
Di tengah pesatnya perkembangan pariwisata dan modernisasi, kehidupan pertanian di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, tetap bertahan melalui keberadaan Subak Abian Widya Mandala Mekar. Subak, sistem irigasi tradisional khas Bali, bukan hanya berfungsi untuk mengatur aliran air, tetapi juga melestarikan nilai budaya, kebersamaan, dan filosofi Tri Hita Karana: harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Namun, menjaga tradisi ini di era modern tidaklah mudah. Subak di Pecatu menghadapi berbagai tantangan, seperti berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan, kurangnya minat generasi muda untuk bertani, serta pengelolaan yang masih bersifat manual. Meskipun begitu, ada peluang besar untuk berkembang. Kelompok subak ini sudah lama mengolah limbah organik menjadi pupuk padat dan cair yang bernilai ekonomi, bahkan telah membangun Taman Canang sebagai pusat produksi sarana upacara sekaligus ruang hijau desa.
Program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen Universitas Warmadewa hadir untuk membantu menjawab tantangan tersebut. Tiga langkah strategis diambil untuk mendukung keberlanjutan subak, yaitu pelatihan Microsoft Excel untuk meningkatkan transparansi dan ketertiban pencatatan keuangan, serta memanfaatkan platform media sosial seperti Facebook dan Instagram untuk memasarkan produk pupuk organik dan hasil pertanian mereka.
Pemasaran digital ini bukan hanya bertujuan untuk menjual produk, tetapi juga memperkenalkan identitas dan aktivitas subak kepada masyarakat luas. Hal ini penting agar generasi muda melihat subak sebagai organisasi yang modern dan relevan. Kedua program ini saling melengkapi dalam menjaga keberlanjutan subak. Transparansi keuangan memperkuat solidaritas internal, sementara promosi digital memperluas akses pasar dan menarik minat generasi muda.
Dengan demikian, digitalisasi bukanlah ancaman bagi tradisi, melainkan jembatan untuk memastikan subak tetap hidup dan relevan di era modern. Subak Abian Widya Mandala Mekar di Pecatu membuktikan bahwa warisan budaya Bali dapat bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya. Mereka tetap berpijak pada nilai tradisi, namun melangkah maju dengan inovasi.
Selama program berlangsung, partisipasi kelompok subak sangat aktif. Mereka tidak hanya mengikuti pelatihan, tetapi juga langsung mempraktikkan pencatatan digital, promosi produk di media sosial, dan mencoba menyusun draft proposal mereka sendiri. Antusiasme ini menunjukkan bahwa tradisi pertanian dapat berjalan seiring dengan inovasi teknologi.
Melalui digitalisasi, kelompok Subak Abian Widya Mandala Mekar kini memiliki fondasi yang lebih kuat untuk menghadapi era revolusi industri 4.0. Pencatatan keuangan yang lebih tertib memudahkan mereka dalam mengakses pendanaan, promosi digital memperluas jangkauan pasar, dan keterampilan menulis proposal membuka jalan untuk mendapatkan dukungan eksternal. Lebih dari sekadar teknologi, program ini menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas bisa saling menguatkan. Subak Pecatu tetap teguh menjaga budaya agraris Bali, namun kini dengan sentuhan digital yang membuat mereka lebih adaptif, inovatif, dan berdaya saing.